Literasi yang Memerdekakan

“Aku rela di penjara asalkan bersama buku, karena dengan buku aku bebas.”
Mohammad Hatta

Bung Hatta tak sedang berpuisi manakala melontarkan kalimat ini. Di tengah kesibukan, beliau menggumuli buku saban hari selama berjam-jam. Ketika bepergian, kopernya pasti penuh buku. Dalam jeruji sel yang mengekang raga, buku jadi teman hidup yang membebaskan jiwa dan pikirannya –dan akhirnya membebaskan rakyat Indonesia dari belenggu kolonialisme lewat ikrar Proklamasinya bersama Bung Karno.

Saat pandemi Covid-19 menyergap dan memaksa dunia “diam sementara di rumah”, banyak orang merasa terpenjara, termasuk saya. Ruang gerak untuk melakukan ini dan itu begitu terbatas. Satu bulan, dua bulan, tiga bulan…. saya mulai mengerti bagaimana  rasanya di penjara. Dalam penat yang menguji akal sehat, saya melirik kembali buku-buku di pojok rumah yang beberapa di antaranya belum dibaca sama sekali.

Saya pun berpikir keras kapan pernah membeli buku-buku tersebut dan mengapa tak kunjung tersentuh. Kesibukan selama ini rupanya membuat saya pongah. Saya berpikir membaca buku adalah kegiatan “sampingan” jika ada waktu lebih. Bukan makanan pokok yang menutrisi jiwa dan pikiran. Saya cuma lapar mata saat membelinya.

Dalam “penjara” inilah saya baru sadar betapa berharganya arti sebuah buku. Ia bukan sekadar goresan tinta dalam helai-helai kertas. Ia menjelma ruh yang hidup manakala saya membacanya. Ia membawa pikiran bertualang bebas ke mana pun saya inginkan. Saat merenungkannya, ia menimbulkan gado-gado rasa yang menghujam empati dan kesadaran saya sebagai manusia yang kompleks. Singkatnya, buku memerdekakan saya.

Demikianlah, akhirnya saya kecanduan menyantap buku dengan rakus tiap hari, menekuri kata demi kata sembari menangis atau terbahak. Di halaman rumah, di kamar, di toilet, buku jadi sahabat paling setia yang membunuh sepi. Tak pernah protes meski terus-menerus dijamah hingga lecek, tak bosan jadi sarana refleksi dan curahan hati.

Kemudian, saya sadar bahwa “santapan” harian ini adalah sebuah kemewahan. Pertama, saya membaca karya yang mungkin telah ditulis bertahun-tahun hanya dalam satu sampai tiga hari. Dalam status media sosialnya, seorang teman pecinta buku berceloteh bahwa perjuangan bertahun-tahun sang penulis telah memampukan kita, sang pembaca, melompat menuju masa depan tanpa perlu mengalami sendiri perjalanan yang berdarah-darah.

Kedua, tak semua orang punya kemampuan mengakses buku karena ketiadaan fasilitas (toko buku, perpustakaan, taman baca, dan sebagainya) ataupun akibat kendala geografis dan finansial. Kita tahu bahwa ongkos kirim ke luar Jawa relatif tinggi. Jaringan internet dan listrik yang masih terbatas juga belum tentu mendukung masyarakat membaca eBook.

Beberapa hari lalu, saya baru menonton film berjudul The Platform. Singkatnya, film tersebut menceritakan sebuah penjara vertikal dimana semua penghuninya harus saling berebut makanan. Dan mereka hanya diizinkan mengajukan satu barang untuk dibawa ke dalam sel, apapun jenisnya.

Seorang penghuni sel yang juga tokoh utama dalam film ini, meminta buku Don Quixote. Tapi kondisi penjara yang brutal karena minimnya makanan menyadarkan sang tokoh utama bahwa ia mungkin telah membuat pilihan keliru. Pada satu titik tak tertahankan, sang tokoh utama terpaksa melahap halaman-halaman bukunya demi bertahan hidup.

Meski adegan tersebut mungkin hanya dimaksudkan sebagai simbol, saya melihatnya sangat mungkin terjadi dalam realita. Ketika saya menganggap buku sebagai “makanan pokok” pembebas jiwa, banyak orang di luar sana masih harus berjuang menghadirkan makanan pokok yang sesungguhnya untuk bertahan hidup, hari demi hari. Merdeka jadi sebentuk kata tak terjangkau, bahkan kian terdengar asing di telinga.

Buku dan literasi sama sekali tak terasa genting, segenting perut yang berteriak nyaring minta diisi. Ironisnya, sejumlah anggota dewan terhormat dan tokoh publik justru menyalahgunakan kemerdekaan yang mereka miliki untuk sekali lagi merebut kemerdekaan saudaranya sendiri, sembari leluasa menebar dusta penuh sensasi demi menangguk pundi sebesar-besarnya.

Di tengah himpitan tekanan, kehidupan literasi yang denyutnya masih terus dipertahankan segenap tenaga oleh rekan-rekan pegiat literasi lokal membawa secercah harapan. Meski kamera lebih suka menyorot si pendusta dan kroni-kroninya, para pegiat literasi tak putus asa menempuh jalan sunyi memperjuangkan kemerdekaan jiwa dan pikiran warganya meski tahu hasilnya tak bisa dipetik dalam jangka pendek.

Komunitas Lakoat Kujawas di Mollo Utara, Timor Tengah Selatan, yang digagas oleh Dicky Senda, misalnya, membuktikan bagaimana literasi bukan pepesan kosong untuk menghibur jiwa-jiwa yang sepi. Perpustakaan yang mereka dirikan bukanlah ruang mati berisi tumpukan buku tapi sungguh “hidup” dengan aneka aktivitas di dalamnya.

Anak-anak bukan obyek yang dipaksa membaca. Mereka terlibat dalam kegiatan berliterasi atas kesadarannya sendiri. Mereka mendengar dongeng-dongeng tetua yang mengajarkan kearifan dalam memandang diri dan lingkungannya, kemudian menulis cerpen, dongeng, dan puisi. Generasi muda Mollo bukan hanya bangga terhadap identitasnya namun berusaha sekuat tenaga melindungi kebebasan yang mereka miliki sebagai komunitas adat.

Aktivitas literasi untuk mendokumentasikan sajian lokal juga berkontribusi melahirkan aneka kreasi pangan yang memberi pemasukan finansial. Warga tak perlu lagi mengandalkan pangan impor yang tarifnya di luar kapasitas demi mengisi kebutuhan perut. Demikian pula dokumentasi sejarah dan budaya yang memampukan warga Mollo menjadi penyedia jasa wisata minat khusus yang kompeten dan tak sekadar berorientasi uang.

Jika sebuah komunitas literasi lokal saja mampu menunjukkan hasil yang luar biasa menggembirakan dalam memerdekakan warganya dari ketergantungan, minimal ketergantungan pangan, bayangkan apa yang bisa dilakukan ratusan bahkan ribuan komunitas literasi yang ada di seluruh penjuru Nusantara.

Potensi-potensi lokal ibarat benih. Jika bertemu lahan-lahan literasi yang subur, bukan tak mungkin akan tumbuh dan berbuah lebat yang hasilnya tak sebatas festival rutin atau kegiatan pengisi kalender pariwisata tanpa makna. Seperti yang dialami warga Mollo, literasi bisa menjadi nadi yang menyuntikkan darah segar bagi upaya pemberdayaan warga jangka panjang.

Bung Hatta memandang buku sebagai agen pembebas pikiran. Tapi dampaknya ternyata lebih dari yang beliau bayangkan. Buku tak cuma membebaskan pikiran secara pribadi tapi bahkan jadi agen yang menghantar negeri ini pada kemerdekaannya 75 tahun silam. Beliau tak sekadar membaca aneka bacaan bergizi tapi juga merefleksikan dan mempraktikannya bersama para founding fathers lain yang juga membaca buku.

Dialektika berpikir disertai langkah nyata yang dilakukan bersama-sama adalah kunci yang bisa menerobos berbagai penjara. Kita tahu bahwa penjara terbesar masyarakat abad ini bukan semata maraknya kabar burung di dunia maya ataupun pandemi Covid-19, tapi terutama kebodohan dan pembodohan (baca: penindasan struktural), situasi dimana bangsa ini kerap merampas kemerdekaan sesamanya sendiri.

Para pegiat literasi adalah agen penting untuk melawan setiap upaya pembodohan yang bertujuan merampas kemerdekaan warga dengan berbagai wujudnya, mulai dari eksploitasi alam tanpa batas yang memiskinkan hingga penindasan hak asasi manusia. Aktivitas literasi dapat menghidupi warga tanpa mengorbankan jati diri mereka sebagai manusia bermartabat.

Menurut saya, inilah esensi dari literasi yang memerdekakan.

* * *

Foto: Dokumentasi pribadi Rini Najib (Pegiat Literasi di Lampung Barat)

 

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.